MEMPERTAJAM PENA GERAKAN:
“IPM sebagai
Aksentuator Ideologi Muhammadiyah”
Oleh: Azaki Khoirudin
Anggota Bidang Perkaderan PW IPM Jawa Timur
Kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM) tidak lepas dari tujuan Muhammadiyah dan konteks sejarah yang
mengirinya. Pada 18
Juli 1961 Miladiyah 1961, ketika IPM lahir dan katika
itu pula Muhammadiyah hampir berusia setengah abad dan belum memiliki
sayap gerakan yang secara khusus menggarap komunitas pelajar. Kini
IPM tengah berusia 51 tahun dari pergumulan sejarah yang penuh
tarik-menarik ideologi yang lebih konpleks. Sesungguhnya IPM lahir
sebagai gerakan organisasi otonom yang membina komunitas pelajar ini
sesungguhnya sejak kelahirannya memiliki jiwa dan karakter yang
bersifat ideologis, bukan sekadar organisasi pelajar biasa
yang bersifat profesional atau teknis
organisatoris-struktural-birokratis. Dahulu IPM lahir karena
tantangan ideologi komunis, tapi kini banyak ideologi yang menyerang
IPM dan dunia pelajar seperti liberalisme, fundamentalisme,
pragmatisme, hedonisme, dan lain-lain.
Sebuah gerakan pelajar masa kini harus
memiliki kesadaran untuk memilih ideologinya sendiri agar dapat
memperjelas makna dan tujuan perjuangan dari eksistensinya. Ali
Syariati (1995: 157) mengatakan bahwa Ideologi selalu dihubungkan
dengan pelajar dan keduanya saling memerlukan. Ideologi menuntut
bahwa gerakan pelajar haruslah memihak. Gerakan Pelajar yang
ideologis, ideologinya adalah suatu kepentingan mutlak. Setiap
ideologi mulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo
(kebiasaan, kemapaman) dengan berbagai aspek cultural, ekonomi,
politik dan moralitas yang cenderung melawan perubahan yang
diinginkan. Oleh karena itu, IPM dituntut untuk memiliki pemahaman
yang mendalam mengenai ideologi yang dapat membantu mengembangkan
suatu pola pemikiran dan visi khas Muhammadiyah, yakni ideologi Islam
berkemajuan.
Kini IPM berada dalam tantangan
perjuangan yang luar biasa kompleks. Di lingkungan sendiri berhadapan
dengan masalah dan agenda Muhammadiyah yang tidak ringan, ketika
gerakan Islam berkemajuan terbesar ini memasuki abad kedua pasca
Muktamar Satu Abad di Yogyakarta tahun 2010 yang lalu. IPM dituntut
untuk menjadi bagian dari gerakan dakwah dan tajdid Muhammadiyah.
Seiring dengan perubahan sosial yang menyertai masyarakat yang
melahirkannya, tengah dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak
ringan seperti ancaman tawuran, narkoba, dan virus-virus lainnya yang
dapat merusak potensi dan martabat pelajar selaku pewaris peradaban
bangsa. Pada posisi demikian menantang untuk menjadi kekuatan
pencerah (problem solver).
Muhammadiyah ialah gerakan Islam yang
memiliki karakter ideologi moderat-reformis. Bahkan seluruh keputusan
resmi Muhammadiyah jika digali dan digabungkan tampak substansi jiwa
moderat dan reformis. Sikap moderat dan reformis merupakan intisari
dari “Kepribadian Muhammadiyah” (Haedar Nashir, 2011: 46).
Pribadi moderat-reformis ini harus dijiwai dan dijaga betul dalam
karakter gerakan IPM. Kegiatan-kegiatan kreatif dengan nalar kritis
harus selalu dijiwai pribadi yang reformis. Jiwa yang selalu menuju
kepada perubahan-perubahan yang bersifat perbaikan (islah).
Selalu peka terhadap persoalan sekitar pelajar dan pendidikan dengan
melihat persoalan secara seimbang, adil, bijaksana, adil, dan
berusaha mengambil tindakan yang terbaik untuk perbaikan.
Kepribadian Muhammadiyah supaya membentuk
karakter moderat-reformis, maka harus dikaji dan didiskusikan secara
terus-menerus, diulang-ulang dan sampai menimbulkan penghayatan yang
mendalam. Sehingga, para kader-kader IPM mampu menjadi penyumbang
“kader ideologis” dan aksentuator gerakan dakwah dan
tajdid Muhammadiyah. Bisa dipahami betul dan secara mendalam gerakan
IPM akan selalu seiring dengan watak, karakter, dan kepribadian
Muhammadiyah, yaitu moderat-reformis. Yakni, pribadi yang matang
antara dimensi ketuhanannya dan dimensi kemanusiaannya, seimbang baik
dalam keimanan, keilmuan, dan keamalan (iman, ilmu, dan amal).
Di samping filosofi kelahiran IPM yang
memiliki makna kelahiran yang syarat dengan gerakan ideologis.
Kelahiran IPM memiliki dua nilai strategis. Pertama, IPM
sebagai aksentuator gerakan dakwah amar makruf nahi munkar
Muhammadiyah di kalangan pelajar (bermuatan pada membangun kekuatan
pelajar menghadapi tantangan eksternal). Kedua, IPM sebagai
lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi
Muhammadiyah di masa yang akan datang. (Tanfidz Mutamar XVII IPM:
18). Jelas sekali peran dan fungsi IPM yakni sebagai aksentuator
gerakan Muhammadiyah. Hal ini memiliki peran aksiologis bagi
Muhammadiyah. Sebagai aksentuator gerakan Muhammadiyah, IPM
bertanggungjawab mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
IPM memiliki tugas sebagai penggerak, penekan atau pemukul bunyi
irama dakwah dan tajdid Muhammadiyah, artinya ketika gerakan
Muhammadiyah kurang terdengar di telinga masyarakat, maka tugas IPM
ialah membantu Muhammadiyah supaya terdengar untuk umat, bangsa, dan
kemanusiaan.
Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
sebagaimana menjadi proyeksi dari visi ideal Muhammadiyah. Kini
Muhammadiyah yang tengah memasuki abad kedua di tengah dinamika
kehidupan modern dan pasca-modern yang kompleks dan sarat perubahan
itu, tentu dituntut untuk mampu menjadi pengemban misi dakwah dan
tajdid sehingga gerakan Muhammadiyah ini mampu mewujudkan tatanan
peradaban utama sebagaimana yang dicita-citakannya. Dengan misi Islam
yang berkemajuan, harus menjadi pelaku gerakan pencerahan yang
strategis itu, sehingga baik IPM maupun komponen Muhammadiyah lainnya
benar-benar melakukan peran transformasi gerakan yang bersifat
membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan peradaban umat
manusia.